Label

Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian

Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian - come back sahabat Hallo sahabat bondowoso community Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian , Pada sharing bondowoso community kali ini yang berjudul Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian , kali ini saya sebagai admin ganteng :v akan membuat artikel semoga artikel ini sangat sangat sangat membantu anda semua yang sedang pusing mencari cari di google jangan lupa sebarkan juga ya supaya teman kalian tau bahwa blog ini sagat berguna :v

materi : Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian
Judul : Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian

lihat juga


Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian

Artikel penyuluhan pertanian, Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian 

1) Pengertian Adopsi Inovasi
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) adopsi adalah proses mental,
dalam mengambil keputusan untuk menerima atau menolak ide baru
dan menegaskan lebih lanjut tentang penerimaan dan penolakan ide
baru tersebut. Menurut Feder dkk (1981), adopsi didefenisikan sebagai
proses mental seseorang dari mendengar, mengetahui inovasi sampai
akhirnya mengadopsi. Di lain pihak Samsudin (1994) menyatakan
bahwa adopsi adalah suatu proses dimulai dan keluarnya ide-ide dari
suatu pihak, disampaikan kepada pihak kedua, sampai ide tersebut
diterima oleh masyarakat sebagai pihak kedua.

Selanjutnya menurut Mardikanto (1993) adopsi dalam penyuluhan
pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan perilaku baik yang
berupa pengetahuan, sikap, maupun keterampilan pada diri seseorang
setelah menerima “inovasi” yang disampaikan penyuluh kepada
sasarannya. Penerimaan di sini mengandung arti tidak sekedar “tahu”
tetapi dengan benar-benar dapat dilaksanakan atau diterapkan dengan
benar serta menghayatinya.

Inovasi adalah segala sesuatu ide, cara-cara ataupun obyek yang
dipersepsikan oleh seorang sebagai sesuatu yang baru.

Menurut Havelock (dalam Nasution, 1990) menyatakan bahwa inovasi
merupakan segala perubahan yang dirasakan sebagai sesuatu yang baru
oleh masyarakat yang mengalaminya. Seseorang menganggap baru,
tetapi belum tentu ide yang sama itu baru bagi orang lain. Mardikanto
(1993) mengemukakan bahwa inovasi adalah suatu ide, perilaku,
produk, informasi, dan praktik-praktik baru yang belum banyak
diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan oleh sebagian besar
warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang mendorong
terjadi perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi


terwujudnya perbaikan mutu hidup setiap individu/warga masyarakat
yang bersangkutan. Menurut Samsudin (1994) inovasi adalah sesuatu
yang baru yang disampaikan kepada masyarakat lebih baik dan lebih
menguntungkan dari hal sebelumnya.


Difusi inovasi diartikan sebagai suatu proses dimana

dikomunikasikannya inovasi kepada petani dalam suatu sistem sosial
melalui saluran-saluran komunikasi tertentu, pada suatu kurun waktu
tertentu pula. Difusi inovasi merupakan salah satu bentuk proses
komunikasi antar pihak pengirim dan penerima informasi, sehingga

dicapai pengertian yang sama mengenai informasi yang

dikomunikasikan. Berlangsungnya proses difusi inovasi sebenarnya
tidak berbeda dengan proses adopsi inovasi. Dari beberapa pengertian
di atas, maka difusi inovasi pertanian diartikan sebagai proses
penyebaran inovasi pertanian dari petani yang sudah mengadopsi
kepada petani yang belum mengadopsi melalui saluran komunikasi
tertentu pada suatu sistem sosial yang sama dalam dimensi waktu yang
tertentu.

2) Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi
Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya faktor yang
mempengaruhi adopsi inovasi. Suparlan (1986) menyatakan bahwa
adopsi inovasi dipengaruhi oleh: pola kebudayaan yang telah ada,
struktur sosial masyarakat dan pranata sosial, persepsi masyarakat
terhadap inovasi.

Kecepatan proses adopsi dipengaruhi oleh klasifikasi pengadopsi, ciri
pribadi, sosial, budaya dan lingkungan serta sumber informasi. (Deptan,
2001).

Di lain pihak Liongberger dan Gwin (1982) mengelompokkan faktor
yang mempengaruhi adopsi teknologi antara lain, variable internal

(personal), variabel eksternal (situasional) dan variabel kelembagaan
(pendukung).

a) Faktor Internal



Pengetahuan Petani
Pengetahuan menurut Mardikanto (1993) berasal dari kata
“tahu” yang diartikan sebagai pemahaman seseorang tentang
sesuatu yang nilainya lebih baik dan bermanfaat bagi dirinya.
Pengertian tahu dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

mengidentifikasi setiap ragam stimulus yang berbeda,

memahami beragam konsep, pikiran bahkan cara pemecahan
terhadap masalah tertentu. Pengertian tahu tidak hanya sekedar

mengemukakan/mengucapkan apa yang diketahui, tetapi

sebaliknya dapat menggunakan pengetahuan dalam praktik dan
tindakannya.

Pengetahuan seseorang dapat diperoleh setelah melakukan
pengindraan melalui panca indranya, oleh karena itu tindakan
yang dilakukan berdasarkan pengetahuan akan langsung
dirasakan manfaatnya dibandingkan dengan tindakan tanpa
didasari pengetahuan. Hal ini sesuai pendapat Ray (1998) yang
menyatakan bahwa pengetahuan terjadi pada saat atau unit
pengambil keputusan lainnya, kontak dengan inovasi dan
mendapatkan suatu fungsi inovasi tersebut. Jadi fungsi
pengetahuan pada intinya bersifat kognitif atau sekedar
mengetahui.





Motivasi Kerja
Motivasi adalah faktor pendorong yang terdapat pada diri

manusia yang menimbulkan, mengarahkan dan

mengorganisasikan sikap atau perilaku manusia. Motivasi yang

bekerja pada diri individu mempunyai kekuatan yang berbeda-
beda. Setiap tindakan manusia digerakkan dan dilatarbelakangi
oleh motif tertentu, tanpa motivasi tertentu orang tidak berbuat
apa-apa (Handoko, 1992).

Selanjutnya dikatakan bahwa untuk mengetahui kekuatan relatif
yang menguasai seseorang pada umumnya dapat dilihat melalui
(a) kuatnya kemauan untuk berbuat, (b) jumlah waktu yang
tersedia, (c) kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang
lain, (d) ketekunan dalam melaksanakan tugas, dan lain-lain.
Menubuhkan motivasi pada petani pada umumnya sangat sulit,
karena keterbatasan yang ada pada petani. Motivasi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan sosial, ekonomi, maupun harapan-
harapan yang akan diperolehnya, demikian motivasi petani akan
berpengaruh terhadap adopsi inovasi.





Sikap Petani terhadap Inovasi
Menurut Thurstone, Likert dan Osgood (di dalam Azwar, 2002)
bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan.
Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan
mendukung (favorable) maupun perasaan yang tidak memihak
(unfavorable) pada obyek tersebut. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ban dan Hawkins (1999) bahwa sikap positif
(mendukung) terhadap pertanian modern (inovasi teknologi)
akan mendorong adopsi teknologi. Sikap petani terhadap inovasi
teknologi sebagaimana dikemukakan oleh Nuraini (1977) bahwa
sifat teknologi terdiri atas tiga, yakni: 1) secara teknis dapat
dilaksanakan; 2) secara ekonomis menguntungkan; dan 3)
secara sosial dapat diterima atau tidak bertentangan dengan
adat dan budaya setempat. Petani mengetahui bahwa teknologi
itu mudah dilaksanakan, menguntungkan, dan sesuai dengan

kondisi sosial budayanya maka akan berusaha menggunakan
inovasi teknologi tersebut.

Adapun faktor yang mempengaruhi kecepatan suatu proses
adopsi inovasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Soekartawi
(1988), adalah:

o Keuntungan relatif
Secara hipotetik, lebih menguntungkan akan diadopsi lebih
cepat. Suatu inovasi memungkinkan petani meraih tujuannya
dengan lebih baik, atau biaya yang rendah. Kriteria yang
digunakan untuk memilih suatu inovasi tidak terbatas pada
kekuatan yang bersifat ekonomis, tetapi juga berupa
keuntungan sosial, (misalnya meningkatkan status sosial,
tingkat kemudahan pemakainnya maupun tingkat kepuasaan
yang diperoleh).

o Kompatibilitas/keselarasan
Kompatibilitas berkaitan dengan nilai sosial budaya dan

keepercayaan dengan inovasi yang diperkenalkan

sebelumnya atau keperluan yang dirasakan oleh petani.
Petani akan lebih cepat menerima inovasi apabila kompatibel
dengan apa yang dia ketahui dan kompatibel dengan personal
objective (tujuan individu).

o Kompleksitas (kerumitan inovasi)
Makin rumit suatu inovasi maka akan sulit petani
menerimanya, tetapi apabila makin mudah teknologi tersebut
dapat dipraktikkan maka makin cepat pula proses adopsi
inovasi yang dilakukan.

o Triabilitas (dapat dicoba)
Kemudahan inovasi untuk dapat dicoba oleh pengguna
berkaitan dengan keterbatasan sumber daya yang ada.
Inovasi yang dapat dicoba sedikit demi sedikit akan lebih
cepat dipakai oleh pengguna daripada inovasi yang tidak
dapat dicoba.

o Observabilitas (dapat diamati)
Observabilitas adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi
dapat dilihat oleh orang lain.

b) Faktor Eksternal



Pendidikan
Chaudhri (di dalam Soekartawi, 1988) menyatakan bahwa
pendidikan merupakan sarana belajar, dimana selanjutnya

diperkirakan akan menanamkan pengertian sikap yang

menguntungkan menuju penggunaan praktik pertanian yang
lebih modern. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan
tingkat adopsi pertanian adalah berjalan secara tidak langsung,
kecuali bagi mereka yang belajar secara spesifik tentang inovasi
baru tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Reksohadiprojo

(1982)

mengemukakan bahwa dengan pendidikan akan menambah pengetahuan, mengembangkan sikap
dan menumbuhkan kepentingan petani terutama dalam menghadapi
perubahan.

Di lain pihak Soetarjo dkk (di dalam Azwardi, 2001) menyatakan
bahwa pendidikan seseorang pada umumnya mempengaruhi
cara berpikirnya. Makin tinggi tingkat pendidikannya makin
dinamis sikapnya terhadap hal-hal baru. Selanjutnya Efferson (di
dalam Sudjadmiko, 1990) menyatakan bahwa tingkat pendidikan

baik formal maupun non formal besar sekali pengaruhnya
terhadap penyerapan ide-ide baru, sebab pengaruh pendidikan
terhadap seseorang akan memberikan suatu wawasan yang luas,
sehingga petani tidak mempunyai sifat yang tidak terlalu
tradisional.

Jadi, tingkat pendidikan masyarakat merupakan salah satu aspek
yang mempengaruhi pola pikir seseorang dalam menentukan
keputusan menerima inovasi baru. Ini karena semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang diharapkan dapat berpikir lebih
baik dan mudah menyerap inovasi pertanian yang berkaitan

dengan pengembangan usaha taninya. Mereka yang berpendidikan
tinggi adalah relatif lebih cepat dalam

melaksanakan adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka
yang berpendidikan rendah, agak sulit dan memakan waktu
yang relatif lama untuk mengadakan perubahan.





Pengalaman Berusaha Tani
Pengalaman petani merupakan suatu pengetahuan petani yang

diperoleh melalui rutinitas kegiatannya
sehari-hari atau peristiwa yang pernah dialaminya. Pengalaman yang dimiliki
merupakan salah satu faktor yang dapat membantu

memecahkan masalah yang dihadapi dalam usaha taninya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Liliweri (1997), bahwa pengalaman
merupakan faktor personal yang berpengaruh terhadap perilaku
seseorang.

Pengalaman seseorang seringkali disebut sebagai guru yang baik,
dimana dalam mempersepsi terhadap sesuatu obyek biasanya
didasarkan atas pengalamannya.


Pengalaman berusaha tani tidak terlepas dari pengalaman yang
pernah dialami. Jika petani mempunyai pengalaman yang relatif

berhasil dalam mengusahakan usaha taninya, biasanya

mempunyai pengetahuan, sikap dan keterampilan yang lebih
baik, dibandingkan dengan petani yang kurang berpengalaman.

Namun jika petani selalu mengalami kegagalan dalam

mengusahakan usaha tani tertentu, maka dapat menimbulkan
rasa enggan untuk mengusahakan usaha tani tersebut. Apabila ia
harus melaksanakan usaha tani tersebut karena ada sesuatu
tekanan, maka dalam mengusahakannya cenderung seadanya.
Pengalaman petani dalam berusaha tani tersebut merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi
pertanian.
Tenaga Kerja
Bagi petani ketersedian tenaga kerja khususnya tenaga kerja
keluarga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kesediaan mereka untuk menerima atau menolak suatu adopsi
inovasi pertanian. Sejalan dengan ini Scott (1981) menyatakan
bahwa karena berbagai keterbatasan yang dihadapi oleh petani,
pada umumnya tenaga kerja keluarga merupakan salah satu
modal yang mereka miliki, dengan demikian diduga semakin
banyak tenaga kerja dalam keluarga yang tersedia dalam usaha
tani, maka semakin tinggi adopsi inovasinya.

Modal
Mengadopsi inovasi pertanian pada umumnya memerlukan
modal yang lebih besar dibandingkan dengan teknologi
sebelumnya. Kadang-kadang introduksi adopsi inovasi pertanian
bagi petani subsistem dipandang tidak praktis, karena disamping

memerlukan tambahan modal yang sebenarnya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari,juga menghilangkan

kesempatan bekerja di luar usaha tani. Bachrein dan Hasanuddin
(1997) menyatakan bahwa petani pada umumnya mengadopsi
inovasi teknologi tidak secara utuh, namun secara parsial
disesuaikan dengan kemampuan modal dan tenaga kerja yang
dimilikinya. Besar biaya yang tersedia untuk suatu usaha tani
digambarkan dengan besarnya modal yang dialokasikan dalam
usaha tani yang bersangkutan dalam satu proses produksi. Jadi,
keterbatasan modal usaha tani merupakan kendala untuk
mengadopsi inovasi pertanian.

Ketersediaan Sarana Produksi
Menurut Mosher (1991), tersedianya sarana produksi secara
lokal merupakan salah satu syarat pokok untuk berlangsungnya
pembangunan pertanian. Inovasi teknologi memerlukan sarana
produksi seperti benih berkualitas, pupuk, pestisida, dan
sebagainya sesuai dengan kebutuhan petani. Tersedianya sarana
produksi secara lokal yang terjangkau oleh petani baik secara
fisik (kemudahan) maupun harganya akan merangsang petani
untuk mengadopsi inovasi teknologi. Ketersediaan sarana
produksi secara lokal dan terjangkau oleh petani akan
berpengaruh positif terhadap adopsi inovasi pertanian.

Pasar
Ketersediaan pasar secara lokal sebagai tempat pemasaran hasil
produksi usaha tani yang mudah dijangkau oleh petani
merupakan salah satu syarat utama dalam modernisasi dan

komersialisasi

pertanian.

Adanya

permintaan,

lancarnya

penjualan dan penyaluran hasil usaha tani, akan menambah
gairah untuk meningkatkan produksi hasil usaha taninya.

Ketersediaan pasar yang dapat dijangkau oleh petani dapat
meningkatkan adopsi inovasi teknologi.

3) Tahap-tahap Adopsi
Seseorang yang mengadopsi suatu inovasi tidak serta merta mereka
mengadopsi inovasi tersebut. Proses dimana seseorang mulai mengenal
adanya suatu inovasi sampai mereka menerapkannya dalam kehidupan
sehari-sehari dapat melalui beberapa tahap. Menurut penelitian di
Amerika yang dilakukan oleh North Central Rural Sociology Sub Commite
of Diffusion of Farm Practise, disimpulkan bahwa proses adopsi melalui
tahap-tahap berikut:

a) Awareness (kesadaran)
Pada tahap ini seseorang menerima rangsangan lalu menangkap
objek dari luar, sehingga ia menyadari adanya suatu inovasi.
 

Interest (minat/tertarik)
Pada tahap ini seseorang ingin mengetahui lebih banyak tentang
inovasi, dengan cara mencari informasi dari berbagai sumber
tentang inovasi tersebut.

Evaluation (penilaian)

Pada tahap ini seseorang mulai menilai baik buruknya atau manfaat
yang dapat dirasakan dari inovasi, penilaian dapat mencakup aspek
fisik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan politis.

d) Trial (mencoba)
Pada tahap ini seseorang mulai mencoba inovasi, meskipun dalam
skala kecil untuk meyakinkan penilaiannya sebelum ia menerapkan
dalam skala yang lebih besar.

e) Adoption (adopsi/menerapkan)
Pada tahap ini seseorang sudah mau menerima dengan penuh
keyakinan berdasarkan penilaian dan uji coba yang telah
dilakukannya.

4) Kategori Sifat-sifat Adopter
Berdasarkan waktu untuk proses adopsi, kategori adopter adalah
sebagai berikut:

a) Inovator (perintis)
Adalah kelompok yang pertama mau mengadopsi suatu inovasi.
Jumlah kelompok ini hanya kurang lebih 2,5% dari total kelompok
masyarakat. Kelompok inilah biasanya mendapatkan keuntungan
ekonomis cukup banyak dengan adanya inovasi tersebut.

b) Early Adopter (pelopor)
Kelompok ini jumlahnya tidak terlalu banyak, sekitar 13,5% dalam
masyarakat. Kelompok ini punya keberanian menanggung risiko
cukup besar.

c) Early Majority (penganut dini)
Kelompok ini termasuk kelompok masyarakat kebanyakan dan
jumlahnya cukup besar, keberanian dalam menanggung risiko tidak
besar. Mereka agak terlambat dalam mengadopsi inovasi dan belum
terlambat dalam merasakan keuntungan ekonomi. Jumlah kelompok
ini dalam masyarakat mencapai 34%.

d) Late Majority (penganut lambat)
Kelompok ini merupakan masyarakat kebanyakan, jumlahnya juga
cukup besar, mencapai 34%. Mereka tidak memiliki kebaranian

menanggung

risiko.

Mereka

sudah

agak

terlambat

dalam

mengadopsi inovasi, sehingga mereka sudah tidak dapat merasakan
keuntungan ekonomi adanya inovasi tersebut.

e) Laggard (kolot/penolak)
Kelompok ini termasuk kelompok yang sulit untuk berubah, bahkan
sampai akhir hayatnya tidak mau menerima suatu inovasi. Biasanya
latar belakang sosial ekonomi yang tidak mendukung menjadi
penyebabnya. Jumlahnya dalam masyarakat mencapai 16%.
Mengenali kelompok adopter dalam masyarakat, kita dapat
mengidentifikasi dari ciri-ciri individunya. Adapun ciri-ciri dari
kelompok adopter tersebut adalah sebagai berikut:

Bila suatu inovasi diperkenalkan pada masyarakat, tidak semua
orang menerimanya pada waktu yang bersamaan. Gambar 1.
memperlihatkan kurva berbentuk lonceng yang menggambarkan
pola adopsi.
Ini memperlihatkan bahwa ketika suatu inovasi mulai diadopsi oleh
sebagian masyarakat terjadi efek pelipatgandaan pengadopsi karena
adanya komunikasi dan saling mempengaruhi antar individu dalam
masyarakat. Jenis-jenis informasi yang dibutuhkan oleh petani dan
sumber informasi yang sering digunakan pada masing-masing tahap

adopsi,

sehingga

penyuluh

dapat

menggunakannya

sebagai

pedoman untuk mengetahui jenis dan informasi serta sumber
informasi yang dapat disediakan bagi masing-masing tahap adopsi
tergambar pada tabel 2.

5) Perbedaan Peranan dalam Proses Adopsi
Perbedaan media massa yang digunakan oleh petani sebagai sumber
informasi, akan menyebabkan berbeda pula proses adopsinya.

Beberapa

diantara

mereka

pada

awalnya

berperan

sebagai

komunikator, legitimator, dan pionir (pendahulu). Pionir sering disebut
sebagai inovator. Identifikasi tipe personal yang memainkan berbagai
peran dalam pola adopsi pada komunitasnya dapat dijelaskan sebagai
berikut:

a) Inovator
Orang yang pertama menerima/mencoba inovasi (ide atau hal
praktis yang baru). Mereka mencari atau bahkan menciptakan
gagasan gagasan baru. Mereka mau menanggung resiko dan

melakukan

percobaan

yang

bersifat

lokal

untuk

memperlihatkan/membuktikan kepada orang lain.

b) Pembicara
Orang yang menyebarkan informasi atau berperan sebagai agen
penyebaran informasi. Mereka mengetahui dan menyebarkan pada
banyak orang.

c) Pimpinan opini (opinion leaders)
Orang yang dianggap sebagai ketua, yang biasanya didengar dan
diminta nasihatnya. Mereka dapat juga berperan sebagai pembicara.




6) Pentingnya Kelompok Sosial dalam Difusi dan Adopsi
Kelompok sosial merupakan gabungan/kumpulan orang-orang yang
mempunyai kepentingan khusus yang sama. Beberapa kelompok sosial
tampak seperti keluarga (famili), memperluas ikatan kekeluargaan, atau
merupakan persahabatan yang kental dan tertutup yang sifatnya
informal. Awalnya asosiasi antar mereka terjadi secara kebetulan dan
mempunyai sifat mutualisme yang kuat untuk mencapai keselamatan
dan kesejahteraan mereka satu sama lain.

Kelompok sosial (keluarga, lokalitas, ketertarikan khusus, kedudukan
sosial dsb) memiliki kesamaan sifat yaitu: anggota suatu kelompok
sosial lebih banyak bergaul dengan anggota lainnya dibandingkan
dengan yang bukan anggota kelompoknya, dan mempunyai rasa saling
memiliki.

Anggota suatu kelompok sosial lebih mengenal dan lebih mempercayai
anggota lainnya dengan baik daripada terhadap bukan anggota
kelompoknya. Anggota suatu kelompok sosial cenderung berbagi
norma, pikiran, serta keyakinan dengan harapan anggota lainnya dapat
menyesuaikan diri dengan norma, pikiran, dan keyakinan tersebut.
Mereka memiliki cara-cara untuk menemukan orang yang tidak sesuai
dengan mereka. Anggota suatu kelompok sosial saling membantu.

Kelompok sosial ini memiliki mekanisme yang dapat digunakan sebagai
agen perubahan untuk menggali pertimbangan terhadap kemungkinan
adopsi. Karena kelompok sosial dapat mempengaruhi komunikasi dan
penerimaan inovasi, maka mereka menyediakan saluran (channel)
interpersonal untuk mengkomunikasikan ide-ide baru yang didapat dari
luar, menyediakan kesempatan bagi para anggota untuk menyampaikan
ide-ide yang telah mereka ketahui dengan baik. Anggota dengan
kredibilitas yang tinggi merupakan faktor persuasi penting dalam
mengadopsi hal praktis yang baru.




7) Kritik terhadap Proses Adopsi
Rogers (1983), sebagai ahli komunikasi dan sosiologi, mengajukan
kritik atau keberatan terhadap proses adopsi dengan berbagai alasan:

a) Proses adopsi tidak selalu berakhir pada tahap adopsi. Adakalanya,
seseorang yang mengenal suatu inovasi dalam prosesnya sudah
tertarik atau bahkan sudah mencoba inovasi tersebut, ternyata
dalam percobaan yang mereka lakukan merasa bahwa inovasi
tersebut tidak cocok atau tidak memberikan manfaat sebagaimana
yang ia harapkan, maka gagallah ia untuk mengadopsi inovasi
tersebut. Sebagai contoh, adanya iklan pestisida yang ampuh
membasmi serangan hama tertentu, namun begitu ia cobakan pada

tanamannya yang terserang hama ternyata tidak memberikan hasil
seperti yang diiklankan di media. Akhirnya ia tidak jadi mengadopsi,
dan kembali ke pestisida yang biasa ia gunakan sebelumnya.
b) Orang yang mengadopsi tidak harus melewati lima tahap tersebut.
Ada juga seseorang yang mendengar atau mengetahui adanya suatu
inovasi baru melalui media massa, karena begitu yakinnya akan
manfaat dan kelebihan inovasi tersebut, seseorang tersebut
langsung menerapkan inovasi tersebut dalam kehidupannya.
Sebagai contoh, ada seorang petani yang sedang mencari cara
mengurangi biaya angkut hasil produksinya yang selama ini
memanfaatkan jasa rental mobil (truk); dengan adanya iklan mobil
(truk) dengan kapasitas angkut yang cukup besar, dengan uang
muka ringan dapat membawa pulang truk tersebut; tanpa berpikir
panjang petani tersebut langsung datang ke dealer mobil terdekat

untuk

membeli

kendaraan

tersebut

dan

digunakan

untuk

mengangkut hasil produksi pertaniannya.
c) Tidak selamanya seseorang akan mengadopsi inovasi tersebut,
dapat berhenti di tengah jalan atau beralih ke inovasi lain. Sebagai
contoh, seorang petani jagung yang dikenalkan pada benih unggul
hibrida baru, yaitu varietas X. Sampai pada akhirnya dia mengadopsi
inovasi tersebut dengan menanam jagung dengan benih unggul
varietas X tersebut. Namun, dalam beberapa tahun kemudian ada
inovasi baru dengan diperkenalkannya benih jagung hibrida varietas
Y, dengan beberapa kelebihan seperti tongkol dalam satu batang
sebanyak 2 tongkol. Akhirnya petani tersebut beralih dari hibrida
varietas X ke Y. Prosesnya beberapa petani tidak mencoba dulu
dalam skala kecil (misalnya 0,25 ha), tetapi langsung semua lahan
miliknya ditanami jangung varietas Y tersebut.
Rogers (1983) mengusulkan serangkaian tahap:


Pengenalan/pengetahuan
Yaitu tentang bagaimana inovasi tersebut berfungsi. Melalui
berbagai kegiatan promosi atau sosialisasi, maka seseorang
dapat mendapatkan pengetahuan tentang adanya inovasi.

Persuasi/penghimbauan
Setelah ia mengenal atau mengetahui adanya inovasi, kegiatan
selanjutnya dari para agen pembaharu adalah pembentukan dan
pengubahan sikap agar seseorang tersebut mau menerima
inovasi tersebut. Pendekatan persuasif, agen pembaharu dapat
meyakinkan seseorang terhadap kelebihan inovasi tersebut, atau
dilakukan penghimbauan secara berulang (persuasi) agar
mereka mau berubah sikapnya, dari semula menolak menjadi
menerima inovasi baru tersebut.

Implementasi/keputusan
Setelah mendapatkan pengenalan dan tambahan informasi yang

memadai

mengenai

inovasi

tersebut,

seseorang

harus

memutuskan apakah ia akan menerima atau menolak inovasi
tersebut.





Konfirmasi

Pada

tahapan

berikutnya,

seseorang

masih

mengalami

kebimbangan dalam mengambil keputusan tersebut, ia masih
perlu mencari.




8) Komunikasi dan Proses Difusi
Proses difusi adalah proses penyebaran informasi yang terjadi dalam
masyarakat, mulai seseorang menyadari adanya inovasi, berminat pada
inovasi, menilai suatu inovasi, mencoba suatu inovasi, dan menerapkan
inovasi kemudian seseorang tersebut menyebarkan inovasi tersebut

kepada anggota masyarakat dalam sistem sosialnya, dengan demikian
apabila proses adopsi terjadi dalam diri seseorang, maka proses difusi
terjadi dalam sistem sosial.

Dilihat dari prosesnya, maka unsur-unsur difusi (inovasi tersebar
kepada anggota dalam sistem sosial) terdiri dari:

a) Inovasi yang disebarluaskan.
b) Penyebarluasan atau proses komunikasinya melalui saluran     ,
c) Proses tersebut terjadi dalam jangka waktu   , dan
d) Penyebaran tersebut terjadi pada anggota sistem sosial    .
Apabila dikaji lebih jauh, terdapat kesamaan antara proses komunikasi
dengan proses difusi dalam sistem sosial. Berikut disajikan unsur-unsur
difusi dan kesamaannya dengan model komunikasi (Rogers and
Shoemaker, 1987):

Diantara anggota sistem sosial yang memegang peranan penting dalam
proses difusi, yakni mereka yang disebut pemuka pendapat dan agen
pembaharu. Pemuka pendapat adalah seseorang yang relatif sering
dapat mempengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain untuk bertindak
dalam cara tertentu. Mereka sering diminta nasihat dan pendapatnya
mengenai sesuatu oleh anggota sistem lainnya. Para pemuka pendapat

ini

berpengaruh

terhadap

penyebaran

inovasi,

mereka

dapat

mempercepat atau menghambat.

Agen pembaharu adalah orang yang aktif berusaha menyebarkan
inovasi ke dalam suatu sistem sosial. Dia adalah petugas yang berusaha
mempengaruhi keputusan anggota sistem sosial dalam rangka
melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh lembaga atau
instansi tempat ia bekerja. Dia berusaha agar ide-ide baru itu dapat
diadopsi, tetapi mereka juga dapat mengurangi kecepatan difusi dan
mencegah pengadopsian ide yang ia yakini tak diinginkan. Agen
pembaharu dapat berasal dari luar sistem sosial tersebut, ia tinggal
bersama anggota sistem lainnya, atau sesekali waktu ia datang ke
sistem sosial tersebut.

Agen pembaharu seringkali bekerja sama dengan pemuka pendapat
dalam suatu sistem sosial. Pemuka pendapat sering menjadi pembantu
yang berjasa bagi agen pembaharu, namun banyak kejadian di
masyarakat para pemuka pendapat ”diasingkan” setelah usaha agen
pembaharu berhasil.

Albrecht, et.al. (1989) menemukan bahwa ternyata seorang inovator
selain menjadi contoh anggota dalam sistem sosial dalam mengadopsi
suatu inovasi dan selanjutnya menyebarluaskan kepada anggota sistem
sosial yang lain, ternyata inovator juga dapat menjadi element
pengganggu dalam proses difusi. Inovator dapat menghindari risiko
suatu inovasi yang tidak atau belum tentu cocok diterapkan di
wilayahnya. Akhirnya semua anggota sistem sosial rugi secara
ekonomis, lebih baik seorang inovator menolaknya agar anggota sistem
tidak ikut menanggung risiko inovasi.

Kaitan antara komunikasi dan organisasi sosial minimal dalam tiga hal,
yaitu: 1) Sistem sosial dihasilkan melalui komunikasi, perkembangan
kelompok sosial akan meningkatkan peluang terjadinya komunikasi. 2)
Sistem sosial yang telah berkembang mencirikan terjadinya komunikasi

antar anggota.

3) Komunikasi mempengaruhi sistem sosial dan

sebaliknya sistem sosial mempengaruhi komunikasi yang terjadi.

Lionberger (1982) mengemukakan beberapa hal yang mempengaruhi
proses difusi:

a) Faktor-faktor sosial, seperti kelompok-kelompok lokal, sifat-sifat
kekeluargaan, klik sosial, kelompok-kelompok panutan, kelompok-
kelompok formal, dan faktor status.
b) Faktor-faktor budaya, yang mencakup sistem nilai dan tingkah laku.
c) Faktor-faktor personal, yang mencakup umur, pendidikan, dan ciri
psikologis.

d) Faktor-faktor situasional, seperti tingkat pendapatan, luas usaha
tani, status dan kedudukan, gengsi sosial, sumber-sumber informasi
yang digunakan, tingkat kehidupan, dan praktik-praktik yang
bersifat alami.
Rogers dan Shoemaker (1987) menyatakan bahwa difusi adalah suatu
tipe khusus komunikasi. Difusi merupakan proses dimana inovasi
tersebar kepada anggota suatu sistem sosial. Pengkajian difusi adalah
telaah tentang pesan-pesan yang berupa gagasan baru, sedangkan
pengkajian komunikasi meliputi telaah terhadap semua bentuk pesan.
Pada kasus difusi, karena pesan-pesan yang disampaikan itu bersifat
”baru”, maka ada risiko bagi penerima. Hal ini berarti bahwa ada
perbedaan tingkah laku dalam kasus penerimaan inovasi jika

dibandingkan dengan penerimaan

pesan biasa.

Malalui

kajian

komunikasi lebih luas dari pada kajian difusi, atau dengan kata lain
kajian difusi merupakan bagian dari kajian komunikasi.

9) Implikasi dalam Bidang Penyuluhan

Penyuluhan

pertanian

sebagian

dari

kegiatan

penyuluhan

pembangunan melibatkan penyuluh pertanian lapangan sebagai ujung
tombak pelaksanaannya di tingkat masyarakat tani. Penyuluh
diharapkan berperan dalam penyebarluasan informasi pertanian serta
ilmu pengetahuan dan teknologi baru di bidang pertanian. Penyuluh
yang semestinya berperan sebagai agen pembaharu atau ”agent of
change” tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sebagai agen pembaharu penyuluh dapat berperan sebagai sumber
(source) atau sebagai saluran (channel) dalam penyebarluasan inovasi.

Agar

penyebarluasan

inovasi

dapat

berjalan

sesuai

harapan,

sebelumnya sifat-sifat inovasi harus dikaji kesesuaiannya dengan
kondisi setempat. Inovasi dapat disampaikan kepada para tokoh
panutan (misal: kontak tani), sehingga anggota sistem sosial dapat

melihat

bukti

dari

penerapan

inovasi

tersebut.

Konsekuensi

tersebarnya inovasi dalam sistem sosial (difusi inovasi) inilah yang kita
harapkan dapat berjalan sesuai harapan.

Penyuluh harus mampu menjadi komunikator yang baik, sehingga
penyuluh harus menguasai teknik-teknik berkomunikasi yang baik
serta mampu mengikuti kemajuan teknologi informasi dengan
memanfaatkan sumber-sumber informasi dan media alat bantu
penyuluhan untuk mendukung pelaksanaan tugasnya.

Penyuluh diharapkan mampu menyerap semua perkembangan ilmu dan
teknologi baru (inovasi) pertanian untuk disebarluaskan kepada petani,
namun demikian berbagai keterbatasan yang ada pada penyuluh seperti
rendahnya akses terhadap informasi menyebabkan penyuluh akhir-
akhir ini telah ditinggalkan oleh petani. Hal ini disebabkan petani
(terutama petani kaya dan kontak tani) yang lebih kosmopolit memiliki
informasi dan iptek pertanian yang lebih dahulu.

Penyuluh sebagai agen pembaharu dalam sistem sosial dimana
didalamnya terjadi proses difusi, seharusnya dapat memainkan peranan
sebagai berikut:

a) Penyuluh mampu membawa informasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang baru dan dibutuhkan oleh anggota sistem sosial.
b) Penyuluh harus mampu menjadi komunikator yang baik kepada
para pemuka pendapat atau tokoh dalam menyampaikan inovasi
baru dalam sistem sosial.
c) Penyuluh harus mampu menterjemahkan pesan (inovasi baru)
kedalam bahasa yang dapat dipahami oleh anggota sistem sosial.
d) Penyuluh harus mampu menumbuhkan kebutuhan akan perubahan
pada anggota sistem sosial.
e) Penyuluh harus mampu mendiagnosa masalah yang dirasakan oleh
anggota sistem sosial.
f) Penyuluh harus mampu membangun hubungan untuk terjadinya
perubahan dalam sistem sosial.
g) Penyuluh harus mampu menumbuhkan keinginan anggota sistem
sosial menjadi tindakan nyata.
h) Penyuluh harus dapat mengusahakan keinginan tersebut menjadi
tindakan nyata.
i) Penyuluh mampu mengkokohkan perubahan yang telah terjadi dan
mencegah ketidakberlanjutan proses yang berjalan.
j) Mencapai akhir hubungan, agar sasaran dapat mandiri dan tidak
bergantung pada pihak luar (agen pembaharu).
Belajar dari pengalaman di lapangan bahwa keberhasilan program

penyuluhan

banyak dipengaruhi oleh kinerja penyuluh itu sendiri.

Penyuluh harus mampu menempatkan dirinya sedemikian rupa,
sehingga ia benar-benar diterima oleh masyarakat tanpa syarat. Ia
haruslah menjadi bagian integral dari masyarakat yang dibinanya.
Penyuluh harus memberikan pendampingan dan pengawalan secara
intens dan terus menerus. Kehadiran penyuluh di tengah-tengah
kelompok tani yang dibinanya harus kontinyu, lebih sering lebih bagus,
misalnya satu sampai dua kali dalam seminggu.

Penyuluh berperan ganda, ia sebagai guru, motivator, dinamisator,
inovator, kreator, dan fasilitator. Sebagai guru ia harus seperti mata air.
Agar terus dapat mengalirkan air (baca: ilmu atau inovasi), maka
penyuluh harus terus belajar. Penyuluh harus terus banyak membaca,
karena dengan membaca wawasan dan pengetahuan akan berkembang.
Penyuluh seharusnya juga praktisi, atau pelaku agribisnis. Ini akan
mengasah dan meningkatkan kompetensinya dibidang teknologi dan
bisnis. Selain akan mendapat manfaat finansial, penyuluh yang praktisi

akan lebih percaya diri. Di samping itu masyarakat yang dibinanya juga
akan lebih percaya kepadanya.

Penyuluh yang berhasil umumnya menjadikan profesi penyuluh itu
sebagai panggilan jiwa. Ia bekerja penuh semangat, dedikatif, dan ikhlas.
Ia menjadikan profesi penyuluh itu sebagai bagian dari ibadah kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya banyak orang yang mengatakan
bahwa “Penyuluh merupakan profesi yang mulia sama seperti guru”.
Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian 



Demikianlah Artikel Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian

Sekian materi Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian , mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan kali ini semoga kalian bisa kembali lagi ke sini dan mengajak teman kalian menuju ke sini supaya saya lebih semangat lagi untuk update artikel maka sebarkan link blog ini dan jangan lupa untuk komentar bisa melalui facebook juga lho komentarnya .

Anda sedang membaca artikel Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian dan artikel ini url permalinknya adalah https://bondowoso-jawa.blogspot.com/2016/10/tingkat-adopsi-inovasi-diffusi.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.

0 Response to "Tingkat Adopsi Inovasi Diffusi Penyuluhan Pertanian "

Posting Komentar