Label

Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian

Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian - come back sahabat Hallo sahabat bondowoso community Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian, Pada sharing bondowoso community kali ini yang berjudul Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian, kali ini saya sebagai admin ganteng :v akan membuat artikel semoga artikel ini sangat sangat sangat membantu anda semua yang sedang pusing mencari cari di google jangan lupa sebarkan juga ya supaya teman kalian tau bahwa blog ini sagat berguna :v

materi : Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian
Judul : Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian

lihat juga


Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian

Artikel penyuluhan pertanian, Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian

1) Petani dan Mentalitasnya
Sebagian besar dari masyarakat Indonesia adalah petani, maka tidak
mengherankan bahwa pola berpikir yang paling asli itu adalah seperti
pola berpikir petani. Sistem ekonomi dalam masyarakat petani itu
berdasarkan pertanian (bercocok tanam, peternakan, atau perikanan)
yang menghasilkan pangan dengan teknologi yang sederhana dan
dengan kesatuan produksi yang tidak berspesialisasi. Adapun watak
dari petani yang hidup dalam masyarakat pedesaan itu, menurut para
ahli dari abad ke 19 yang lalu, dijiwai oleh maksud serba rela atau
wesenwille dalam pergaulan (Tonnies, 1887 di dalam Sayogyo, 2002),
sedangkan menurut ahli seperti Boeke, orang petani tidak suka bekerja,
bersifat statis, tidak mempunyai inisiatif, dan hanya suka membebek
saja kepada orang-orang berpangkat tinggi dari kota.

Pada masa sekarang, para ahli sosiologi telah memulai meninggalkan
konsepsi bahwa masyarakat petani di daerah pedesaan itu merupakan
suatu tipe masyarakat dengan sejumlah ciri-ciri pokok yang tertentu.
Mereka sudah sadar bahwa struktur masyarakat dan sistem ekonomi
desa itu tidak seragam menurut suatu tipe ideal yang tertentu.
Bayangan orang kota mengenal masyarakat desa yang tenang tenteram,
rela, rukun dan berjiwa gotong royong, sering tidak cocok dengan
kenyataan. Mungkin satu abad yang lalu, kontras antara masyarakat
pedesaan dan masyarakat kota itu masih amat menonjol. Tetapi dalam
jangka waktu itu masyarakat pedesaan tidak tinggal statis, sehingga
banyak unsur masyarakat kota masuk ke daerah pedesaan. Banyak
orang desa yang berurbanisasi membawa ciri-ciri dan terutama
mentalitas pedesaan ke kota. Maka dari itu, pada masa sekarang
menjadi amat sukar untuk membedakan antara masyarakat pedesaan

dan masyarakat kota, kecuali hanya dalam hal-hal seperti jumlah
penduduk, heterogenitas penduduk, dan tingkat teknologi modern.

Timbul pertanyaan bagaimanakah sebenarnya ciri-ciri nilai budaya
dalam mentalitas petani di Indonesia? Cara berpikir dan mentalitas
masyarakat petani di Indonesia itu telah sejak lama menjadi perhatian
para ahli. Semuanya tertarik akan masalah itu, karena ingin memahami
cara berpikir yang merupakan latar belakang dari hukum adat
Indonesia, yang tampaknya amat berbeda dengan hukum orang Eropa.
Analisa mereka, semua ahli tersebut bicara tentang adanya suatu sifat
religiomagis yang menghinggapi pola berpikir rakyat petani di daerah
pedesaan di Indonesia itu.

Harus diperhatikan bahwa para petani di desa itu tidak selalu berbuat
seaneh seperti apa yang dilukiskan selalu berhubungan dengan
eligiomagis, tetapi dapat juga berbuat berdasarkan pola berpikir yang
rasional, dengan logika yang berdasarkan akal sehat. Hanya hal yang
harus diperhatikan adalah sistem nilai budaya, mempengaruhi baik
sikap maupun pola-pola tindakan mereka. Untuk mengerti pola-pola
tindakan orang tani, kita harus menyelami sistem nilai budaya.

Sudah tentu sistem nilai budaya dari semua rakyat petani di beberapa
daerah di Indonesia tidak sama, tentu ada variasi antara sistem nilai
budaya dari orang petani di Aceh, di tanah Batak, di tanah Minangkabau,
di Jawa Barat, di Jawa Tengah, di Kalimantan, di Makassar, di Timor atau
bahkan di Irian Jaya. Walaupun demikian, berdasarkan apa yang kita
ketahui semua berdasarkan pengalaman kita mengenai kehidupan
masyarakat pedesaan, kita bisa mencoba menyusun suatu perkiraan
berdasarkan kesan mengenai sistem nilai budaya petani di Indonesia.

Petani di Indonesia bekerja untuk hidup, kadang-kadang kalau mungkin
untuk mencapai kedudukan. Ia hanya mempunyai perhatian untuk hari

sekarang ini, bagaimana keadaan hari kemudian, ia tidak perduli. Ia
terlampau miskin untuk dapat memikirkan hal itu, hanya kadang-
kadang ia rindu akan masa yang lampau, yang menurut dongeng-
dongeng orang tua merupakan suatu masa kejayaan. Pada umumnya
alam tidak mengerikan baginya. Kalau kadang-kadang ada bencana
alam berupa gunung meletus atau air bah besar, ia hanya menerimanya
sebagai suatu nasib yang kebetulan buruk saja.

Adapun hama yang merusak tanamannya, tidak ditakutinya; ia tahu cara
mengatasi bencana serupa itu, dan kalau sekali ia tak dapat
mengalahkan hama, ia toh tidak mati kelaparan, karena sistem bantu
membantu dalam masyarakat memberikan kepadanya suatu perasaan
aman yang cukup besar. Asal ia dapat menyelaraskan diri saja dengan
alam sekitarnya, maka amanlah hidupnya. Itulah sebabnya ia harus
menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong royong, terutama ia harus
sadar bahwa dalam hidupnya itu ia pada hakikatnya bergantung kepada
sesamanya; maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara
hubungan baik dengan sesamanya.

2) Petani dan Kelembagaannya
Berdasarkan data Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah Rumah Tangga
Petani (RTP) meningkat 2,2 % per tahun dari 20,8 juta pada tahun 1993
menjadi 25,4 juta pada tahun 2003. Sementara itu, petani gurem
meningkat 2,6 % per tahun dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7
juta pada tahun 2003. Prosentase RTP gurem dibanding RTP pengguna
lahan naik dari 52,7 % pada tahun 1993 menjadi 56,5 % pada tahun
2003. Hal ini menunjukkan kemiskinan petani meningkat selama
dekade 1993-2003.

Kondisi petani seperti ini, maka semua program pembangunan
pertanian yang diluncurkan oleh pemerintah, dan teknologi yang
dihasilkan oleh lembaga penelitian, serta modal yang disalurkan oleh

lembaga keuangan hampir dipastikan tidak akan dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh petani. Upaya pemberdayaan petani melalui
penyuluhan pertanian harus selalu ditingkatkan.


Penyuluhan pertanian merupakan suatu keniscayaan sekaligus merupakan

kewajiban pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pemberdayaan
melalui penyelenggaraan penyuluhan pertanian

diperlukan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku guna
membangun kehidupan dan penghidupan petani yang lebih baik secara
berkelanjutan.

Pemberdayaan petani dan keluarganya melalui penyelenggaraan
penyuluhan pertanian seperti di atas tidak mungkin dilaksanakan
dengan pendekatan individu, karena jumlah dan sebaran petani sangat
besar dan luas serta terbatasnya sumberdaya penyuluhan. Penyuluhan
pertanian harus dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan
ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat
agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar,
kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari
usaha taninya. Sampai saat ini jumlah kelembagaan petani yang tercatat
adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani,
dan 272 P4S/Pusat Pelatihan Pengembangan Petani Swadaya.

Kelembagaan petani ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai unit
ekonomi, sehingga kedepan harus diarahkan untuk lebih berorientasi
pasar, berbasis pada sumber daya lokal dan kompetensi petani untuk
mendapatkan berbagai kemudahan akses terhadap permodalan,
teknologi, pemasaran, dan sarana produksi.

3) Perubahan Sosial Masyarakat Tani dan Pedesaan
a) Konflik dan Persaingan
Ciri-ciri yang sering dihubungkan dengan masyarakat pedesaan itu
memang ada dalam desa di Indonesia. Orang kota suka
membayangkan masyarakat desa itu sebagai tempat orang bergaul
dengan rukun, tenang dan selaras. Kecuali pertengkaran yang terjadi
di sekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari dalam rumah
tangga yang membesar dan melebar. Sumber dari banyak
pertengkaran dalam masyarakat pedesaan di Indonesia adalah
berkisar hal tanah, masalah kedudukan dan gengsi, hal perkawinan,
hal perbedaan antar kaum tua dan kaum muda dan hal perbedaan
antara pria dan wanita.

Para Ahli Antropologi yang biasa meneliti masyarakat kecil memang
telah banyak mengumpulkan bahan tentang pertengkaran dalam
masyarakat yang mereka teliti. Tidak hanya mengenai pertengkaran
(atau konflik), tetapi juga mengenai pertentangan (kontroversi) dan
persaingan (kompetisi). Misalnya pandangan yang berdasarkan
konsep perubahan kebudayaan dan psikologi atau dalam hubungan
tentang guna-guna dan ilmu dukun.

b) Kegiatan Bekerja
Masyarakat desa di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu bentuk

masyarakat yang ekonomis, terbelakang dan yang harus

dikembangkan dengan berbagai cara. Hal itu mengadakan sistem
perangsang yang akan menarik aktivitas warga desa adalah amat
perlu. Orang desa tidak perlu ditarik atau didorong untuk bekerja
keras. Hanya cara dan irama bekerja itu harus diubah dan
disesuaikan dengan cara dan irama yang harus dipelihara dengan
disiplin. Ini agar tenaga yang dikeluarkan dapat seirama dengan
jalannya mesin yang memberi hasil seefektif mungkin. Walaupun

orang desa itu dapat dan biasa bekerja keras, tetapi kalau ia harus
bekerja dalam sistem produksi modern, ia harus banyak mengubah
adat dan kebiasaan bekerjanya.

c) Sistem Tolong Menolong
Aktivitas tolong menolong itu hidup dalam berbagai macam bentuk
masyarakat desa di Indonesia. Kecuali dalam pekerjaan pertanian,
aktivitas tolong menolong itu tampak dalam banyak lapangan
kehidupan masyarakat yang lain, misalnya dalam aktivitas

kehidupan sekitar rumah tangga, dalam menyiapkan dan

melaksanakan pesta dan upacara, di dalam hal kecelakaan dan
kematian.

Pada praktik akan kita lihat bahwa menurut ketentuan adat, satu
tahap pekerjaan dilakukan dengan satu tipe tolong menolong. Lain
tahap dengan lain tipe lagi, atau satu tahap pekerjaan dengan sistem
tolong menolong. Lain tahap bahkan tanpa sistem tolong menolong,
tetapi dengan tambahan tenaga buruh bayaran. Terlepas dari hal-hal
tersebut di atas masih ada satu hal lagi yang perlu diperhatikan
mengenai hal tolong menolong ini. Terutama untuk keperluan
analisis sosial, ialah bahwa orang sesama warga desa yang bertolong
menolong itu biasanya berbeda-beda, baik mengenai berbagai
lapangan aktivitas sosial maupun mengenai tipe tolong menolong.

d) Gotong Royong
Di samping adat istiadat tolong menolong antara warga desa dalam
berbagai macam lapangan aktivitas sosial, baik berdasarkan
hubungan tetangga, ataupun hubungan kekerabatan atau hubungan
lain yang berdasarkan efisiensi dan sifat praktis. Ada pula aktivitas
bekerja sama yang lain yang secara populer biasanya juga disebut
gotong royong. Hal itu adalah aktivitas bekerjasama antara sejumlah

besar warga desa untuk menyelesaikan suatu proyek tertentu yang
dianggap berguna bagi kepentingan umum.

Di dalam mengajukan proyek yang membutuhkan tenaga bersama
dari sebagian besar warga desa, pihak atasan atau siapa saja yang
mengajukan proyek itu, harus dapat meyakinkan warga desa akan
kegunaan dari proyek tersebut bagi masyarakatnya. Juga sekaligus
merasakan bahwa proyek itu seolah sebagai proyeknya sendiri,
sedemikian rupa sehingga perasaan paksaan itu akan hilang,
Demikian pula orang desa akan bekerja dengan rela dan
bersemangat.

Sistem tolong menolong itu merupakan suatu teknik pengerahan
tenaga mengenai pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian atau

spesialisasi khusus.

Atau mengenai pekerjaan yang tidak

membutuhkan diferensiasi tenaga dimana semua orang dapat
mengerjakan semua tahap dalam penyelesaiannya. Perusahaan yang
modern, dengan suatu diferensiasi dan spesialisasi yang kompleks,
dengan suatu organisasi yang luas, sistem tolong menolong tidak
akan memberi hasil yang efektif. Aktivitas tolong menolong sebagai
suatu cara bekerjasama dalam kelompok primer, dengan jiwa
gotong royong yang ada dalam suatu masyarakat sebagai
keseluruhan, adalah dua hal yang tidak sama dan tidak harus
dipisahkan satu dari yang lain. Pada organisasi modern yang
kompleks, sistem tolong menolong mungkin tidak akan efektif lagi,
tetapi jiwa gotong royong tetap harus dipelihara.

Jiwa atau semangat gotong royong itu dapat kita artikan sebagai
peranan rela terhadap sesama warga masyarakat. Pada masyarakat
serupa itu misalnya, kebutuhan umum akan dinilai lebih tinggi dari
kebutuhan individu, bekerja bakti untuk umum adalah suatu hal
yang terpuji. Sistem hukum hak individu tidak diutamakan secara

tajam dan sebagainya. Sistem pengerahan tenaga secara tolong

menolong, terikat kepada struktur kelompok

primer dalam

masyarakat. Tetapi jiwa gotong royong dan jiwa berbakti
merupakan ciri watak atau kepribadian dari banyak bangsa di dunia
dan tidak terikat kepada kelompok primer itu.

e) Musyawarah dan Jiwa Musyawarah
Musyawarah adalah satu gejala sosial yang ada dalam banyak
masyarakat pedesaan umumnya dan khususnya di Indonesia.
Artinya, bahwa keputusan yang diambil dalam rapat tidak
berdasarkan mayoritas. Hal ini berarti bahwa baik pihak mayoritas
maupun pihak minoritas mengurangi pendirian mereka masing-
masing, sehingga dapat mendekati. Unsur ini rupanya sudah ada
sejak berabad-abad lamanya dalam masyarakat pedesaan di
Indonesia, akan tetapi pengupasan secara ilmiah baru dibuat untuk
pertama kalinya oleh para ahli hukum adat.

Hal ini agaknya musyawarah itu dibicarakan terutama sebagai suatu
cara melakukan rapat, tetapi dalam hal pranata sosial tersebut
sebaiknya membedakan antara dua hal, ialah musyawarah sebagai
suatu cara melakukan rapat dan musyawarah sebagai suatu
semangat untuk menjiwai seluruh kebudayaan dari masyarakat.

Sebuah masyarakat yang berjiwa gotong-royong, ide musyawarah
itu biasanya dilaksanakan dalam hal memecahkan masalah-masalah
kecil atau pun besar. Tampak dalam prinsip dari hukum adat yang
lebih bersifat mendamaikan semua pihak daripada mengalahkan
atau menenangkan satu pihak.
Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian


Demikianlah Artikel Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian

Sekian materi Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sekian postingan kali ini semoga kalian bisa kembali lagi ke sini dan mengajak teman kalian menuju ke sini supaya saya lebih semangat lagi untuk update artikel maka sebarkan link blog ini dan jangan lupa untuk komentar bisa melalui facebook juga lho komentarnya .

Anda sedang membaca artikel Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian dan artikel ini url permalinknya adalah https://bondowoso-jawa.blogspot.com/2016/10/karakteristik-masyarakat-tani-dalam.html Semoga artikel ini bisa bermanfaat.

1 Response to "Karakteristik Masyarakat Tani dalam penyuluhan pertanian"

  1. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    BalasHapus